Menjadi seorang volunteer bukan sekedar mengisi waktu luang atau menambah portofolio. Bagi Dewi, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2024 dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjadi volunteer adalah perjalanan menemukan makna sesungguhnya dari pendidikan dan kemanusiaan.
Awal Mula Bergabung sebagai Volunteer
Dewi memulai perjalanannya sebagai volunteer di Sakola Kembara pada tahun 2025. Keputusannya untuk bergabung didasari oleh alasan yang sederhana namun jujur, melatih keterampilan mengajar sambil menambah uang jajan untuk membeli novel-novel kesukaannya. Namun, apa yang awalnya tampak seperti kegiatan sampingan biasa, ternyata membawanya pada pengalaman yang jauh lebih bermakna.
Kini, sebagai Manajer Learning-Design di Departemen Kurikulum Sakola Kembara, Dewi tidak hanya menjadi pengajar bahasa Indonesia biasa. Ia adalah bagian dari sebuah gerakan sosial yang membawa perubahan nyata bagi anak-anak di desa-desa yang membutuhkan akses pendidikan berkualitas.
Sabtu yang Berkesan
Dari sekian banyak momen yang dialami selama menjadi volunteer, ada satu hari yang tak akan pernah Dewi lupakan. Hari itu adalah hari Sabtu dimana hujan turun cukup deras di kawasan Cibodas, Kabupaten Bogor. Dewi sempat terpikir untuk membatalkan kegiatan mengajar. Namun, tekadnya untuk tetap hadir membawanya naik angkot dari UPI menuju Pasar Lembang, di mana ia dijemput oleh Kepala Sekolah Cibodas, Kak Zahra.
Sesampainya di rumah belajar Sakola Kembara Cibodas, hanya dua siswa yang hadir: Akmal dan Pute. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit dengan harapan siswa lain akan datang, kegiatan belajar akhirnya dimulai hanya dengan dua orang siswa tersebut.
“Walaupun jumlahnya sedikit, suasana belajar tetap hidup,” kenang Dewi. Akmal dan Pute aktif bertanya dan mengikuti materi dengan antusias. Mereka adalah dua siswa yang selalu rajin mengikuti kegiatan belajar di Sakola Kembara Cibodas—bahkan mau badai sekalipun, mereka tetap datang.
Yang membuat momen ini sangat berkesan bagi Dewi adalah semangat luar biasa dari kedua siswa tersebut. Meskipun teman-temannya tidak selalu hadir, mereka tetap datang dan belajar dengan kesungguhan yang sama. Semangat mereka dalam belajar untuk meraih perguruan tinggi negeri (PTN) benar-benar menginspirasi.
“Kini, mereka sudah berkuliah,” ujar Dewi dengan nada bangga. “Dan setiap kali mengingat hari itu, saya kembali disadarkan bahwa pendidikan tidak pernah diukur dari jumlah kursi yang terisi, tetapi dari hati-hati kecil yang terus memilih untuk belajar, apa pun keadaannya.”
Dampak Menjadi Volunteer
Pengalaman menjadi volunteer di Sakola Kembara membawa dampak mendalam bagi Dewi. Ia menjadi lebih bersyukur dan sadar bahwa akses pendidikan tidak dimiliki oleh semua orang. Kesenjangan pendidikan antara kota dan desa, antara mereka yang mampu dan yang tidak, menjadi kenyataan yang ia saksikan langsung.
Selain kesadaran sosial yang meningkat, Dewi juga mendapatkan bonus lain yang tak kalah berharga: kesempatan mengenal banyak mahasiswa di luar UPI yang menurutnya “keren-keren banget.” Lingkungan volunteer yang beragam memberinya perspektif baru dan memperluas jaringan pertemanannya dengan orang-orang yang memiliki semangat dan nilai yang sama.
Cerita Dewi mengingatkan kita bahwa menjadi volunteer bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menerima. Di tengah hujan dan dengan hanya dua siswa, Dewi menemukan esensi dari mengajar, bahwa semangat belajar tidak bisa dipadamkan oleh cuaca buruk atau jumlah yang sedikit.
Jika Akmal dan Pute bisa datang di tengah hujan deras demi mengejar impian mereka, mengapa kita tidak bisa memberikan sedikit waktu kita sebagai volunteer untuk membantu lebih banyak anak seperti mereka meraih masa depan yang lebih cerah?
